Rabu, 10 Desember 2008

analisa sistem silvikultur

ANALISA ASPEK EKOLOGI, EKONOMI, TEKNIS DAN SOSIAL BUDAYA PADA SISTEM SILVIKULTUR HUTAN PAYAU (SK. DIRJEN KEHUTANAN NO. 60/KPTS/DJ/I/1978) DAN SISTEM TEBANG RUMPANG

OLEH :
1. TRI JOKO PITOYO (F2A107002)
2. SAIBATUL HAMDI (F2A107004)
3. NORDIANSYAH (F2A107007)
4. MOISES JOSE DA GAMA (F2A107009)
5. TEKSTIYANTO (F2A107011)
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU, MEI 2008
Created by tri7oko@yahoo.com


SISTEM SILVIKULTUR HUTAN PAYAU
1. Pada Bab I Umum, pada pengertian umum mengandung aspek
a. Ekologis
Pada bagian ini dijelaskan tentang pengertian tipe hutan payau, kondisi dan karakteristik serta jenis pohon yang tumbuh pada tipe hutan ini. Hutan payau merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, pada saat pasang akan tergenang sebaliknya kering pada saat air laut surut. Jenis pohon yang tumbuh tergantung dari jenis tanah, intensitas genangan dan kadar garam dalam air laut. Jenis pohon yang mendominasi hutan payau ini adalah sonneratia spp, avicennia spp, rhizophora spp,bruguiera spp,ceriops spp,lumitzera spp dan xylocarpus spp.
b. Ekonomis
Pada bagian ini juga menyebutkan jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis. Famili Rhizophoraceae (rhizophora spp, bruguiera spp, ceriops spp) merupakan jenis yang mendominasi (jumlahnya lebih banyak) dan kayunya memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding dengan jenis lainnya yang tumbuh di hutan payau.
2. Tujuan pengusahaan, pada bagian ini mengandung aspek
a. Ekonomis
Pada bagian ini disebutkan komoditas produk yang mungkin secara ekonomis dapat diperoleh dari pengolahan terhadap hasil hutan yang dipanen pada tipe hutan ini, yaitu sebagai bahan arang, kayu bakar dan bahan baku serpih.

b. Ekologis
Tujuan dari eistem silvikultur yang diterapkan ini diharapkan dapat meningkatkan fungsi hutan payau sebagai tempat pembiakan ikan laut, pelindung tanah terhadap erosi pantai atau abrasi akibat gelombang air laut, pencegahan perkembangbiakan nyamuk atau sebagi stabilisator ekosistem perairan.

3. Sistem silvikultur
a. Ekologis
Penerapan sistem silvikultur dengan sistem pohon induk (seed trees method) merupakan didasari dengan pertimbangan ekologis yang memanfaatkan sumber benih lokal untuk peremajaan hutan. Benih dari pohon induk yang terpilih dan sehat dapat dikatakan unggul, karena telah terbukti mampu bersaing dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan/ekologis setempat pada hutan payau tersebut. Dengan adanya pohon induk ini sebagai sumber benih peremajaan hutan diharapkan agar komposisi jenis pada hutan payau tidak mengalami perubahan secara drastis sehingga kondisi ekologis dan fungsi hutan payau dapat berjalan.

b. Ekonomis
Pemilihan sumber benih dengan memanfaatkan pohon induk akan berpengaruh secara ekonomis,karena dapat menekan biaya pada kegiatan pengadaan bibit (persemaian, pemeliharaan bibit, pengangkutan bibit, dll). Pemilihan pohon induk dengan tepat dapat memaksimalkan jumlah panenan (pohon yang ditebang)

c. Teknis
Aspek teknis pada sistem hutan payau dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah panenan/tebangan dengan aspek ekologi dan pemilihan pohon induk yang baik dan sehat serta memperhitungkan luas dan jarak antara pohon induk. Pelaksanaan secara teknis harus dapat mengakomodir jumlah panenan dalam jumlah sebanyak mungkin namun harus meminimalisir
kemungkinan kerusakan pada pohon induk yang ditinggalkan. Pelaksanaan sistem silvikultur pada hutan payau dengan sistem pohon induk ini meliputi kegiatan penebangan dan kegiatan pemeliharaan pohon induk dan tegakan sisa hingga daur selanjutnya sebagai suatu kesatuan kegiatan. Dengan demikian harus ada sikronisasi antara kegiatan penebangan dan kegiatan pemeliharaan.
4. Wilayah kerja
a. Ekologis
Pengaturan lokasi penebangan harus mempertimbangkan aspek ekologi dari hutan payau dengan berbagai fungsinya. Fungsi hutan payau sebagai tempat pemijahan ikan, pencegahan abrasi, dll harus tetap berfungsi dengan baik. Untuk itu kegiatan penebangan tidak dapat dilakukan pada seluruh areal namun perlu adanya suatu buffer zone atau zona/kawasan lindung pada lokasi-lokasi yang strategis sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kawasan lindung tersebut meliputi 50 m dari tepi hutan yang menghadap pantai, 10 m tepi sungai, alur air dan jalan raya. Pada lokasi ini tidak diperkenankan dilakukan penebangan untuk menjaga fungsi lindung hutan payau agar tetap berjalan.

b. Teknis
Pelaksanaan penebangan pada sistem silvikultur hutan payau dilakukan selain pada lokasi jalur /kawasan lindung yang disebutkan di atas.
5. Inventarisasi
a. Ekologis
Kegiatan inventarisasi tegakan dilakukan dengan metode sistematic strip sampling with random start terhadap permudaan tingkat semai, pancang dan pohon. Pelaksanaan dilakukan dengan cara memotong contur atau memotong garis perbedaan vegetasi. Hasil inventarisasi yang meliputi keadaan pohon, permudaan, fisik lapangan dan sosial ekonomi ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran mengenai kondisi ekologi dan fungsi hutan yang bersangkutan.

b. Ekonomis
Hasil kegiatan inventarisasi yang berkaitan dengan potensi per jenis dan kelas diameter per hektar merupakan dasar perhitungan apakah layak atau tidak secara ekonomis dilakukan penebangan. Data potensi dan data lainnya juga merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan jenis dan metode kegiatan selanjutnya yang secara ekonomis lebih mengutungkan, apakah dengan non mekanis atau semi mekanis. Data potensi dan kondisi hutan ini merupakan data yang vital bagi perusahaan dalam menentukan investasinya.

c. Teknis
Hasil inventarisasi berupa data potensi dan kondisi hutan merupakan pertimbangan dalam pelaksanaan penebangan maupun kegiatan selanjutnya secara teknis.
6. Penataan hutan
a. Ekologis
Aspek ekologis dalam kegiatan penataan hutan meliputi penetapan kawasan lindung, pembagian hutan ke dalam kelas perusahaan, pembagian blok kerja tahunan. Pembagian kelas perusahaan ini masih dibagi lagi menjadi kelas hutan yang lebih kecil lagi (hutan payau masak tebang, hutan payau permudaan, hutan payau rusak), demikian juga blok tebangan tahunan masih dibagi menjadi beberapa petak tebangan. Pembagian hutan menjadi kelas hutan dan atau petak tebangan yang lebih kecil ini akan memudahkan identifikasi ekologis dan pengelolaannya sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan.
b. Ekonomis
Pembagian hutan menjadi kelas hutan maupun menjadi beberapa blok tebangan tahunan sesuai dengan daur dimaksudkan agar pengelolaan hutan dapat dilakukan secara berkesinambungan dan ekonomis diusahakan sesuai dengan data potensi yang ada. Adanya unit pengelolaan yang lebih kecil akan memudahkan pengontrolan terhadap pelaksanaan kegiatan, termasuk dalam hal ini adalah realisasi biaya yang dikeluarkan.
c. Teknis
Pembagian unit pengelolaan yang kecil akan memudahkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Tahap persiapan dan pengadaan sarana prasarana yang sesuai dengan kondisi hutan dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan rencana kerja tahunan maupun keseluruhan daur. Pemilihan sarana peralatan dapat diperhitungkan dan disesuaikan dengan rencana kerja yang ada berdasarkan daur ataupun kelas hutan.
7. Penunjukan pohon induk
a. Ekologis
Pohon induk dimaksudkan sebagai sumber benih alami yang dipilih dari pohon yang sehat, lurus dan tajuk yang lebat, sehingga anakan yang dihasilkan diharapkan dapat mewarisi sifat induknya. Pemilihan jenis pohon induk disesuaikan dengan tempat tumbuhnya, dengan demikian permudaan yang ada merupakan jenis lokal yang sesuai dengan kondisi ekologi setempat. Kerapatan atau jarak antar pohon induk yang ditinggal diharapkan dapat menghasilkan ruang tumbuh bagi permudaan dan menghasilkan tegakan yang cukup produktif sesuai dengan kondisi setempat.
b. Ekonomis
Jenis pohon induk sebagai sumber permudaan dipilih yang bernilai tinggi dan menguntungkan secara ekonomis diusahakan hingga daur selanjutnya. Penentuan jarak pohon induk diharapkan mampu menghasilkan permudaan yang ekonomis dipelihara hingga daur selanjutnya.
c. Teknis
Pemilihan jenis dan kerapatan pohon induk yang ditinggalkan memberikan konsekuensi teknis dalam pelaksanaan kegiatan penebangan maupun kegiatan pemeliharaan
8. Penebangan pohon dan pengeluaran kayu
a. Ekologis
Penebangan dengan pembatasan pada diameter tertentu dimaksudkan agar tersisa permudaan yang dapat dipelihara pada areal bekas tebangan. Penentuan peralatan yang boleh digunakan pada kegiatan penebangan diharapkan dapat mengurangi dampak kerusakan yang mungkin terjadi pada lantai hutan. Penebangan dengan menggunakan peralatan manual atau semi mekanis dikombinasikan dengan teknik tertentu (penentuan arah rebah, teknik bucking, penyaradan, sistem pengangkutan, dll) akan meminimalisir kerusakan pada lantai hutan, sebaliknya penebangan dengan peralatan full mekanis akan merusak lantai hutan berikut permudaan yang ada yang pada akhirnya akan merubah kondisi ekologi secara drastis. Penentuan jumlah minimal dan kerapatan pohon induk maupun permudaan yang ditinggal pada lokasi bekas tebangan merupakan usaha untuk mempertahankan produktifitas dan fungsi hutan yang bersangkutan. Pembuatan alur air untuk perahu maupun jaringan rel untuk lori harus diperhitungkan secara matang dan sedapat mungkin tidak merubah kondisi fisik sehingga tidak mempengaruhi kondisi lingkungan secara nyata. Pembangunan jaringan rel ataupun alur air yang tidak terencana dan simpang siur dapat merubah kondisi fisik hutan dan menurunkan fungsi hutan secara drastis.

b. Ekonomis
Perhitungan yang cermat antara jumlah produksi/potensi pohon yang ditebang pada diameter tertentu dengan kerapatan jaringan rel/alur air harus dilakukan dengan cermat sehingga ekonomis untuk diusahakan.
c. Teknis
Teknik penebangan, penentuan arah tebang, bucking, penyaradan, pengangkutan dan pembangunan jaringan rel/alur air harus direncanakan dan dilaksanakan dengan cermat dan tepat.
9. Pemeliharaan bekas tebangan
a. Ekologis
Kegiatan pemeliharaan tegakan yang meliputi penjarangan, pembebasan dan penanaman kembali dimaksudkan untuk memberi ruang tumbuh yang cukup bagi permudaan dan tegakan tinggal dengan memperhatikan kondisi ekologi lingkungan sehingga tegakan dapat tumbuh dengan baik serta fungsi hutan dapat berjalan. Pengamatan kondisi ekologi setempat, antara lain adalah musim buah, perkecambahan alami, hama dan penyakit setempat, kondisi pasang surut air laut, sangat menentukan keberhasilan dalam permudaan.
b. Ekonomis
Kegiatan pemeliharaan tegakan yang meliputi penjarangan, pembebasan dan penanaman kembali dimaksudkan untuk memberi ruang tumbuh yang cukup bagi permudaan dan tegakan tinggal sehingga produktifitas tegakan ditingkatkan dan cukup ekonomis saat dipanen pada daur selanjutnya. Penggunaan bibit lokal dengan memanfaatkan pohon induk yang sehat dan sesuai dengan lingkungan setempat akan menguntungkan secara ekonomis karena dapat menekan biaya pengadaan bibit dan pemeliharaan.
c. Teknis
Teknik pelaksanaan pemeliharaan, penjarangan, pembebasan harus memperhatikan permudaan yang akan dipelihara hingga daur selanjutnya. Teknik yang kurang tepat justru dapat menurunkan produktifitas hutan dan mengurangi fungsi hutan. Teknik penanaman yang meliputi pengunduhan buah, perlakuan benih, penanaman bibit dan pemeliharaannya harus mengadopsi dan dikembangkan berdasarkan kondisi ekologi setempat sehingga tingkat keberhasilannya tinggi.
10. Perlindungan hutan
a. Ekologis
Kegiatan perlindungan harus dilakukan terhadap seluruh areal hutan agar tidak terjadi penurunan fungsi hutan.
b. Ekonomis
Dengan adanya kegiatan perlindungan terhadap areal hutan, produktifitas hutan dapat dijaga.
c. Teknis
Teknik perlidungan dikembangkan sesuai dengan kondisi setempat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa terhadap Pedoman sistem silvikultur hutan payau yang ditetapkan oleh pemerintah melalui SK Dirjen Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 telah mempertimbangkan aspek ekologis, ekonomis dan teknis. Aspek sosial budaya masih belum diperhatikan walaupun dalam tujuan kegiatan inventarisasi telah disebutkan mengenai sosial ekonomi masyarakat setempat, namun dalam penjabaran selanjutnya tidak diatur.
SISTEM TEBANG RUMPANG
1. Aspek ekologis
Pembagian areal kerja sesuai dengan daur yang ditentukan dengan mempertimbangkan luasan dan kawasan lindung. Penentuan kawasan lindung yang meliputi ; PUP, plasma nutfah, tegakan benih, sempadan sungai dan kawasan konservasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kondisi serta karakteristik lingkungan, edafis maupun tegakan pada lokasi setempat.
Adapun pembagian luasan dalam blok adalah 40 – 60 % merupakan kawasan produksi (terdiri dari 40-50 % tegakan rumpang dan 40 – 50 % tegakan utuh) dan 20 – 50 % kawasan lindung (terdiri dari 10-20 % daerah lembah/sungai dan rawang, 20-30 % daerah berlereng curam > 40 %). Dengan adanya kawasan lindung ini diharapkan kualitas hutan tetap terjaga dan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pembagian blok tebangan berdasarkan batas alam sehingga kondisi ekologi pada suatu blok diharapkan sama.
Pembuatan trace jalan utama dan cabang direncanakan dengan seksama dan dengan memperhitungkan potensi yang ada. Trace jalan yang dibuat dapat berfungsi juga sebagai batas blok tebangan. Intensitas jalan diperhitungkan 20 – 30 m/ha dan lokasi TPn berada di sepanjang jalan logging dengan jarak 0,5 – 2 km serta pembuatan jalan sarad yang berbentuk tanduk rusa dengan jarak 10 – 700 m sehingga kerusakan pada lantai hutan yang dapat menyebabkan erosi atau pemadatan pada tanah akibat kegiatan pembukaan jalan dan TPn dapat dikurangi. Erosi yang hebat akan menyebabkan terlarutnya unsur hara pada tanah dan pemadatan tanah akan menyulitkan sistem perakaran pada semai sehingga pada akhirnya akan mengurangi produktifitas hutan.
Pelaksanaan tebang rumpang dilakukan pada anak petak tebangan dengan diameter 1 – 1,5 tinggi pohon dengan jarak ploting rumpang + 100 m dan jumlah pohon yang ditebang 3 – 8 pohon dan atau seluruh pohon dengan diameter 20 cm up. Penebangan dengan sistem rumpang diharapkan akan memberi ruang tumbuh dan sinar matahari sehingga dapat memicu pertumbuhan semai dorman yang banyak terdapat pada lapisan bawah (stratum D). Secara alami rumpang akan terbentuk akibat pohon tua yang rebah. Adopsi rumpang menjadi suatu sistem penebangan diharapkan agar kondisi ekologi tidak berubah secara drastis pada seluruh areal penebangan dan ekosistem hutan tetap terjaga. Siklus pada lokasi rumpang adalah 70 tahun, sementara siklus pada tegakan utuh pada anak petak yang sama adalah 35 tahun. Siklus ini akan memberikan kesempatan tumbuh pada tegakan sisa sesuai dengan riapnya.
2. Aspek ekonomis
Penebangan dengan sistem tebang rumpang dilaksanakan pada lokasi ploting rumpang yang telah ditentukan dalam kawasan produksi pada anak petak. Luas ploting rumpang adalah 40-50 % dari kawasan produksi sebesar 40- 60 % pada blok tebangan, sehingga luas total rumpang dalam blok tebangan adalah 16 – 30 % dari luas total blok tebangan. Meskipun penebangan dilakukan terhadap seluruh vegetasi dengan diameter 20 cm up pada lokasi rumpang yang telah ditentukan dengan diameter 1 – 1,5 tinggi pohon namun secara ekonomis masih terasa kurang menguntungkan. Sebagai ilustrasi, hutan dengan potensi sebesar 50 m3/ha, pada blok tebangan seluas 100 ha, maka total potensinya adalah 5000 m3, namun yang dapat dipanen hanya sebesar 800 – 1500 m3.
3. Aspek teknis
Sistem tebang rumpang menuntut suatu perencanaan teknis yang cermat dengan mempertimbangkan berbagai aspek ekologi dan karakteristik hutan setempat. Dalam pelaksanaan teknis di lapangan, operator diharapkan mengikuti perencanaan yang telah ditentukan. Peralatan eksploitasi yang digunakan hendaknya yang ramah lingkungan.
4. Aspek sosial budaya
Aspek sosial budaya pada sistem tebang rumpang tidak diakomodir.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa terhadap Sistem tebang rumpang, ternyata sistem ini
menitik beratkan pada aspek ekologi. Aspek ekonomi dan teknis kurang diperhatikan,
sementara aspek sosial budaya masyarakat tidak diperhatikan.

Tidak ada komentar: